
“Merasa Selalu Benar, Padahal Diam-Diam Salah: Sebuah Refleksi Diri”
Oleh : Dan Artadinan
(Praktisi Pendidikan)
Pernahkah kita merasa tidak bersalah dalam sebuah masalah, padahal sebenarnya ada bagian dari diri kita yang turut menyumbang kekeliruan itu?
Pernahkah kita tahu telah melakukan kesalahan, tetapi tetap tenang karena tidak ada yang mengetahuinya?
Dan yang paling sering terjadi tanpa kita sadari adalah melakukan kesalahan yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga lama-lama tidak terasa lagi bahwa itu salah. Kita anggap biasa. Kita anggap wajar. Kita merasa “begini juga tidak apa-apa.”
Itulah bahaya terbesar dari kesalahan yang berulang: ia menjadi kebiasaan, lalu dianggap sebagai kebenaran.
- Ketika Kesalahan Menjadi Gaya Hidup
Ada kalanya kita melakukan sesuatu yang keliru, menunda pekerjaan, berkata kasar, memanipulasi data, membuat alasan palsu, membeda-bedakan siswa, atau menyalahkan orang lain, dan awalnya kita tahu itu tidak benar.
Tapi karena tidak ditegur…
Karena tidak ketahuan…
Karena tidak langsung berdampak besar…
Kita terus melakukannya.
Lama-lama, hati kita menjadi kebal. Kita mulai meyakini bahwa:
• “Itu hal kecil, tidak usah dibesar-besarkan.”
• “Semua orang juga melakukan hal yang sama.”
• “Kalau tidak ada yang protes, berarti tidak apa-apa.”
Padahal sebenarnya, kita sedang kehilangan kepekaan terhadap diri sendiri.
Bukan karena kita jahat, tapi karena kita tidak lagi paham siapa diri kita sebenarnya, dan ke mana arah perubahan yang seharusnya kita tuju.
- Ketika Kita Tidak Lagi Bisa Membedakan Salah dan Benar
Inilah yang paling mengkhawatirkan:
Bukan karena kita tidak tahu aturan, tapi karena kita sudah membiasakan diri menyimpang dari aturan, dan merasa baik-baik saja.
Ini adalah bentuk ketidaksadaran mendalam, dan juga ketidakfahaman terhadap diri sendiri.
Kita lupa bahwa tujuan kita hidup bukan hanya untuk selamat dari kritik, tapi untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Bagaimana bisa seseorang memperbaiki diri kalau dia tidak sadar dirinya salah?
- Refleksi: Seberapa Dalam Kita Mengenal Diri Sendiri?
Kadang kita terlalu sibuk melihat kesalahan orang lain, hingga lupa memeriksa kebiasaan kecil kita yang sebenarnya keliru.
Kita marah ketika orang lain tidak jujur, padahal kita sendiri sering berbohong demi kenyamanan.
Kita kecewa ketika orang lain lambat, tapi kita juga suka menunda dan mencari alasan.
Kita menuntut orang lain bersikap adil, padahal kita sendiri sering pilih kasih.
Mengapa kita tidak sadar?
Karena kesalahan kecil yang dilakukan terus-menerus, lama-lama terasa seperti kebenaran.
Dan itu adalah bentuk ketidakfahaman terhadap hati dan nurani kita sendiri.
- Maka, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
✅ Bangun kesadaran diri (self-awareness)
Coba evaluasi diri secara jujur:
Apa kebiasaan saya yang dulu saya tahu salah, tapi sekarang saya anggap wajar?
✅ Jangan tunggu ditegur, tegurlah diri sendiri lebih dulu
Menunggu orang lain menyadarkan kita adalah bentuk pasif.
Mulailah dari keberanian menatap diri sendiri di cermin, dan bertanya:
“Apakah saya sedang menjadi pribadi yang terus tumbuh, atau justru terjebak dalam zona nyaman yang salah?”
✅ Kembalikan kepekaan hati
Sering-seringlah merenung. Dekatkan diri pada nilai-nilai kebenaran. Karena nurani kita itu seperti lampu, dan kebiasaan buruk seperti debu yang menutupinya. Tanpa kita bersihkan, lama-lama kita tidak bisa melihat terang lagi.
- Penutup: Jangan Bangga Tidak Ditegur
Kesalahan yang tidak diketahui orang lain bukan berarti tidak ada.
Dan kebiasaan buruk yang terasa biasa bukan berarti benar.
Jangan bangga karena tidak ditegur.
Banggalah ketika kita mau mengoreksi diri, meski tidak ada yang tahu.
Kejujuran terhadap diri sendiri, itulah awal dari pembenahan sejati.
Dan mengenali kebiasaan buruk sebagai kesalahan, meski sudah lama kita lakukan adalah tanda bahwa kita masih punya nurani yang hidup.
“Kesalahan terbesar adalah ketika kita tidak lagi merasa bersalah.”
Tapi harapan selalu ada selama kita masih mau jujur dan belajar.